Senin, 05 Juli 2010

Komunitas Petani Karet (Kompak) Wanareja

Membebaskan petani dari jerat tengkulak adalah awal gerakan Kompak, Komunitas Petani Karet Desa Cigintung. Berbekal gelontoran dana dari Lakpesdam NU, 27 orang anggota Kompak dapat melunasi hutangnya pada para tengkulak. Setelah itu, mereka menata organisasi dan meningkatkan posisi tawar untuk menentukan harga.


Cigintung adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Wanareja, letaknya di bagian barat Kabupaten Cilacap. Dari kota Cilacap dapat ditempuh dengan angkutan umum Cilacap-Wanareja sekitar 2,5 jam karena jalanan yang dilalui banyak berlubang. Bisa juga ditempuh melalui kereta api kelas ekonomi turun di stasiun Cipari lalu disambung dengan jalan darat sekitar 1 jam.

Sebagai organisasi moderen, Kompak berdiri bulan Februari 2007. Namun, sebagai komunitas Kompak telah diinisasi sejak 14 tahun yang lalu. Perintisnya adalah Muhammad Daldiri. seorang guru ngaji jebolan sebuah pesantren di Banyuwangi. Lulus dari pesantrennya, Daldiri menjadi guru ngaji di sebuah pesantren di Cilongok, Banyumas. Di pesantrennya ia mengajar ribuan santri yang datang dari beragam daerah, termasuk dari Majenang dan Wanareja. Suatu saat ia dipanggil oleh kiainya dan diberi amanah untuk mengembangkan siar agama di Wanareja. Lalu ia dijodohkan dengan seorang santri asal Cigintung. Dari perkawinannya, ia dikaruniai tiga anak.

Tekstur geografis Cigintung adalah bebukitan, di atasnya terhampar ladang palawija, umbi-umbian, cengkeh, dan kelapa. Secara ekonomi, sebagian besar warga Cigintung hidup di bawah garis kemiskinan, terlebih setelah harga cengkeh anjlog. Pada 1990-an, para pemuda menjadi kuli atau pembantu rumah tangga (PRT) di kota sebab mereka hanya jebolan sekolah dasar. Namun demikian, warga desa Cigintung punya tradisi keagamaan yang kuat, sebagian besar penduduknya adalah jamiah Nahdlatul Ulama. Dengan reputasi guru ngaji di pesantren, Daldiri segera diminta menjadi pengasuh pengajian, dari anak-anak, remaja, ibu-ibu, hingga umum. Untuk menghidupi keluarganya, Daldiri mengolah ladang dan membuka warung yang menjual aneka keperluan sehari-hari dan barang-barang kelontong.

Menginisasi Menanam Karet
Desa Cigintung juga berbatasan dengan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN), sebuah perusahaan negara yang mengolah perkebunan karet ribuan hektar karet. Melihat harga karet yang cukup tinggi, terbersit dalam pikir Daldiri untuk menanam pohon karet di ladangnya. Usaha ini sempat ditertawakan oleh sebagai warga lainnya, terlebih saat ia menjual tanahnya di Banyumas untuk modal membeli tanah di Cigintung yang rencananya ia ditamani karet.

“Saya sering mengamati kerja-kerja pengolahan karet di PTPN. Lalu, saya jual tanah di Banyumas untuk beli tanah di sini. Setelah tujuh tahun, pohon karet yang saya tanam bisa dinikmati hasilnya. Akhirnya, petani lainnya coba meniru, ladang yang tadinya ditanami cengkeh, kelapa, dan umbi-umbian lalu berpindah ke karet,” ungkapnya.

Pada 1996, pohon karet milik Daldiri mulai dapat disadap. Ketika itu hasilnya memang belum seberapa. Menjelang Idul Fitri, harga karet terus naik dan ia mendapat pemasukan lumayan banyak sehingga ia menjadi satu-satunya warga yang dapat membeli kendaraan bermotor di desanya. Lalu, warga lain tertarik mengikuti langkah Daldiri, satu per satu petani Cigintung mulai menanam pohon karet. Sekarang 99% warga Cigintung telah beralih profesi dari penyadap gula kelapa menjadi penyadap karet.

Awal-awal menanam karet, kendala utama petani adalah minimnya pengetahuan tentang dunia perkaretan. Selain kualitas bibit yang rendah, cara tanamnyapun tidak beraturan. Pohon-pohon karet yang tumbuh juga tidak dirawat dengan baik. Pemupukan pun nihil. Hal itu disebabkan karet belum menjadi tumpuan utama hidup mereka. Sebagian besar petani masih mengutamakan menanam padi gogo atau ubi di sela-sela pohon karet. Selain itu, produksi gula kelapa menjadi mata pencaharian lain warga desa. Dengan naiknya kebutuhan rumah tangga banyak petani karet yang hutang pada tengkulak. Karena terikat hutang mau tak mau mereka harus menjual hasil karetnya pada sang tengkulak. Dalam penentuan harga petani tidak memiliki posisi tawar sedikitpun sehingga harga karet stagnan.

Bebaskan Petani dari Jerat Tengkulak
Kondisi di atas jelas membuat Daldiri gelisah. Ia mencoba mendekati para petani. Caranya, setelah shalat Isya biasanya para jamaah tidak langsung pulang, tetapi saling bercengkrama ngalor-ngidul. Orang Cigintung menyebutnya sebagai lailatul ijtima’. Mereka saling bercengkrama perihal akar masalah yang penghambat petani. Daldiri mengusulkan pembentukan organisasi karet agar semua masalah petani bisa dibicarakan bersama-sama.

“Awalnya petani agak ragu, tapi setelah kita saling bertukar argumen, mereka secara sukarela bersepakat membentuk Kompak,” ujarnya.

Sebagai jamiah NU, Daldiri menghubungi Lakpesdam untuk membantu segala tetek bengek pendirian organisasi maupun manajemen pengelolaannya. Dari hasil fasilitasi Lakpesdam disimpulkan akar penyebab miskinnya petani adalah rendahnya harga jual karet. Harga jual karet rendah sebab petani tidak memiliki kebebasan menjual produk sebab terjerat hutang pada para tengkulak. Oleh karena itu, langkah awal yang mendesak adalah mencari cara mengeluarkan petani dari jerat hutang para tengkulak.

Pucuk dicinta ulam tiba, Lakpesdam menyepakati pinjaman dana lunak tanpa bunga pada Kompak. Dengan dana tersebut, para petani karet anggota Kompak dapat melunasi hutangnya pada tengkulak. Sekarang hasil produksi karet tidak lagi dimonopoli oleh tengkulak, Kompak bisa memasarkan sendiri sehingga harga jual meningkat. “Produk karet Cigintung memiliki mutu yang baik, terlebih para petaninya mau berpikir maju dengan mendirikan organisasi jadi Lakpesdam mengapresiasinya dengan pinjaman. Kebetulan lembaga memiliki projek pemberdayaan ekonomi warga,” ujar Syaiful Mustain, Manajer Program Lakpesdam Cilacap.
Setelah satu tahun lebih lepas dari jerat tengkulak, petani karet mulai merasakan dampaknya. Harga karet yang sebelumnya hanya Rp 18.000,-/kg meningkat menjadi Rp 22.500/kg. Selain itu, melalui pelatihan dan kunjungan ke kelompok petani karet yang lebih maju produktivitas petani juga meningkat. Sekarang ini Kompak mengelola pohon karet produktif kurang lebih 5.200 pohon. Rata-rata petani dapat menghasilkan 120 kg karet mentah. Jadi, rata-rata petani memiliki penghasilan Rp 2.700.000,-

Jadikan Mushola sebagai Pos Pemberdayaan Warga
Keberhasilan Kompak tidak dapat dilepaskan dari peran kegiatan keagamaan warga. Kegiatan-kegiatan keagamaan dijadikan wahana warga untuk membahas permasalahan kemasyarakatan dan perekonomian. Warga Cigintung memiliki jadwal-jadwal pertemuan berdasarkan kegiatan rutin keagamaan seperti Yasinan tiap malam Jumat, Pengajian Muslimat tiap Jumat pagi, dan forum-forum Bashul masail.

“Menurut para ulama, umat Islam dianjurkan supaya menjadi orang yang mampu secara keduniaan tetapi hatinya tidak tergantung pada urusan dunia (hububdunya). Kita mencari dunia untuk kesejahteraan hidup, terlebih jika harta yang kita dapatkan bisa menjadi modal ibadah itu kan bagian dari ibadah itu sendiri,” ujar Daldiri.

Jika ada petani ingin bertukar pikiran dan informasi biasa mereka datang ke mushola. Mereka saling bercerita tentang masalah mereka, misalnya “kok, karet saya seperti ini, sudah dipupuk, diberi anu, tapi masih seperti ini, dan lain-lain. Daldiri sementara ini menjadi narasumber utama, di samping beberapa pengurus lainnya.
“Jika saya mampu menjawab maka segera saya menerangkan, tetapi jika tidak Kompak menghubungi orang yang lebih pinter atau meminta lakpesdam membawa persoalan ini kepada ahlinya,” terangnya sembari tersenyum lebar.


Sumber:
Yossy Suparyo
http://www.forumwarga.net/index.php?option=com_content&view=article&id=30:komunitas-petani-karet-kompak-wanareja&catid=6:anggota&Itemid=6
21 April 2009

1 komentar: